Kemarau Panjang dan Menanti Turunnya Hujan

 “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52).

Saat Ketika Bani Israil dilanda bencana yang teramat sangat berupa penyakit yang meyerang dan kekeringan akibat hujan tak kunjung datang. Mereka meminta kepada Nabi Musa Alaihi Salam agar berdoa memohon kepada Allah supaya segera menurunkan hujan.

Nabi Musa kemudian mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang dan mengajak mereka berdoa bersama. “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.”

Namun, hujan tidak juga turun. Mereka berdoa kembali, “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.”

Musa kemudian berkata, “Ya Allah, biasanya Engkau selalu mengabulkan permohonan kami, mengapa kali ini hujan tidak kunjung turun?”

Allah menjawab, “Wahai Musa, hujan tidak turun karena di antara kalian ada orang yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Karena keburukan maksiatnya, Aku mengharamkan hujan dari langit untuk kalian semua.”

Allah kemudian memerintahkan supaya orang itu dikeluarkan dari daerah tersebut. Musa pun berkata kepada kaumnya, “Saudara-saudaraku Bani Israil, aku bersumpah bahwa di antara kita ada orang yang bermaksiat kepada Allah selama 40 tahun. Akibat perbuatannya itu, Allah tidak menurunkan hujan untuk kita. Hujan tidak akan turun hingga orang itu pergi. Maka, usir orang itu dari sini.”

Orang yang ahli maksiat itu pun sadar. Kemudian, ia melihat sekelilingnya, berharap ada orang lain yang melangkah pergi. Namun, tak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Aku mohon Engkau menutupi aibku. Jika sekarang aku pergi, pasti dilecehkan dan dipermalukan. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Terimalah taubatku dan tutupi aibku ini.”

Belum sempat meninggalkan tempat, hujan pun turun. Nabi Musa terkejut atas hal ini. “Ya Allah, hujan telah turun padahal tak seorang pun dari kami yang pergi.”

Allah berfirman, “Musa, hujan turun karena Aku gembira, hamba-Ku yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun itu telah bertaubat.”

Atas hal ini, Musa pun memohon kepada Allah agar menunjukkan orang yang dimaksud itu kepadanya, sehingga dia bisa menyampaikan kabar gembira tersebut. Allah menjawab, “Musa, ia bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun, dan semuanya Kurahasiakan. Mungkinkah setelah sekarang ia bertaubat, Aku akan mempermalukannya?”

Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita bahwa kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh segelintar orang dapat menghalangi terkabulnya doa, termasuk ditahannya hujan dari langit. Begitulah pengaruh buruk dari berbuat maksiat.

Pengaruh buruk itu, kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, antara lain, dapat menghalangi turunnya rezeki, menjauhkan pelakunya dengan orang baik, menyulitkan urusan, melemahkan hati, memperpendek umur, merusak akal, hilangnya rasa malu, berkurangnya nikmat, dan mendatangkan azab.

Karena itu, agar hujan tidak terhalang, selain dengan shalat Istisqa, hendaknya dibarengi dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52).

 

Menutupi Aib Orang Lain

Kisah tersebut diatas juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa aib seseorang itu sudah selayaknya untuk tidak dibongkar.

Aib adalah sesuatu hal yang membuat seseorang itu malu jika diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu, jika kita mengetahui aib orang lain, hendaklah kita menutupi aibnya dan tidaklah kita mengumbar aib orang lain di depan publik, sehingga ia merasa sangat malu.

Perlu kita ketahui juga bahwa setiap orang itu mempunyai aib sendiri-sendiri, termasuk kita. Kita akan merasa malu jika aib kita tampak oleh orang lain, sehingga kita berusaha menutupi aib kita. Dengan demikian, marilah kita menutupi aib orang lain agar aib kita sendiri juga turut tertutupi.

Allah memberikan kemuliaan bagi orang yang mampu menutupi aib orang lain. Hal itu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, "Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak." (HR Muslim).

Jika kita menutupi aib orang lain sehingga tidak membuatnya malu, Allah kelak akan menutupi aib kita pada hari kiamat. Dengan kata lain, aib kita yang berupa dosa-dosa itu akan diampuni oleh Allah di akhirat kelak.

Namun, tentu saja hal ini berbeda jika menyangkut persoalan hukum. Seseorang yang berbuat kriminal hendaklah tidak ditutupi kesalahannya di muka pengadilan hukum.

Ini memang aib, tapi ini menyangkut fikih untuk menjatuhkan hukuman. Wallahu a'lam.